Hari
Tigapuluh Satu, 2014
Duduk di ruangan sepi,
cat dinding putih berkesan hening mencekam-menunggu-putusan (mungkin
lebih tepatnya putusan hukuman mati). Lima pasien selain saya
setengah tersadar, tiga orang terbatuk-batuk konstan, dua sisanya
dalam alat bantu pernafasan lengkap dengan tabung oksigen metal
tinggi.
Hidup itu pilihan
kata poster bernada sinis-kurang
ajar dengan terpampang jelas di pintu yang tiga urutan lagi harus
saya masuki.
dr. Lina Monika
Astuti Sp.P
Poli Paru
Tangan
saya gatal melinting Marlboro.
Hari
Tigapuluh Dua, 2014
X-Ray, Roentgen, CT Scan. Periksa Lab kata dokternya, tidak ada
apa-apa ya bagus, ada apa-apa ya tidak heran. Hasilnya?
Kanker.
Paru-paru.
Stadium (hampir) akhir.
Pulang. Depresi.
Hari
Tigapuluh Tiga, 2014
Dina teriak.
Bapak tidak bertanggung jawab katanya. Beraninya kena kanker ketika
ia sudah di trisemester akhir. Kalau mati bagaimana. Tidak peduli
sama anak yang belum lahir? Sudah tahu racun masih dihisap.
Papa pingsan. Papa Dina juga pingsan. Mama histeris. Mama Dina lebih
histeris. Ruang keluarga sunyi . Dina menarik tangan saya ke Rumah
Sakit menebus obat. Jangan putus harapan katanya, menguatkan. Mungkin menguatkan dirinya sendiri.
Hari
Tigapuluh Tiga (juga)
Antrian panjang. Maklum, kata nenek disebelah, semenjak pemerintah
mengadakan berobat gratis nasional, pergi ke rumah sakit jadi hobi.
Tren gaya hidup baru.
Nomor urutan ke tiga puluh tiga (kebetulan? Tidak tahu dan tidak mau
tahu). Apotekernya mbak-mbak 20-an, kelihatannya capai tapi masih
memaksakan senyum.
Dua kali sehari, tiga kali sehari, yang ini obat kankernya, yang ini
obat kalau terasa sakit batuknya, setelah makan, dihabiskan,
konsultasi secara berkala, dan semoga cepat sembuh.
Hari
Empat Puluh Satu, 2014
Batuknya sudah darah. Semua darah. Dina panik. Opname saja kata Dina,
asuransi ditanggung BPJS, pemerintah sudah berpihak pada pasien
kanker.
Dirumah sakit dapat kelas tiga (standar BPJS). Diinfus, lalu
menunggu.
Tiga jam kemudian dokternya datang visit, dokter Lina juga. CT Scan
lagi.
Hasilnya?
Saya tidak merespon kemoterapi. Baca : obat-obatnya gagal
menyembuhkan saya. Pilihannya radiasi atau operasi.
Hari
Lima Puluh Dua, 2014
Radiasi
hari ke sebelas. Shock.
Ternyata kanker paru saya metastasis -istilah keren kankernya sudah
menyebar. Otak dan hati saya ikut kanker.
Hari
Enam Puluh Empat, 2014
Dina bersalin, di stase kebidanan lantai tiga, saya di ruang inap
unit dua lantai empat. Terbaring lemas ringkih. Hampir mati.
Lima belas menit kemudian mama saya datang. Terisak.
Anakmu laki-laki. Selamat. Ibunya juga.
Beratnya terlalu ringan. 1,5 kilo.
Kata dokter harapan hidupnya rendah, harus masuk UGD untuk bayi.
NICU. Neonatal Intensive Care Unit. Mungkin katanya karena Dina
terekspos kamu merokok di rumah.
Hari
Tujuh Puluh Dua, 1999
Andi nawarin rokok. Katanya keren. Enak. Ngilangin stress. Bikin Fly.
Jangan cemen katanya. Rokok itu asik. Ga bikin sakit, ga bikin mati.
Banyak orang ngerokok dan mereka baik-baik aja.
Saya ambil sebatang
***
Naskah ini diikutkan pada Lomba Menulis di Blog "Diary sang Zombigaret". Untuk informasi lomba dapat dilihat di Lomba Menulis dengan Laman Resminya dapat dilihat di Facebook Zombiegaret.
Salam sehat, anti tembakau :)