Thursday, May 1, 2014 | By: Life Stories

For Lack of Better Word

Hari Tigapuluh Satu, 2014

Duduk di ruangan sepi, cat dinding putih berkesan hening mencekam-menunggu-putusan (mungkin lebih tepatnya putusan hukuman mati). Lima pasien selain saya setengah tersadar, tiga orang terbatuk-batuk konstan, dua sisanya dalam alat bantu pernafasan lengkap dengan tabung oksigen metal tinggi.

Hidup itu pilihan kata poster bernada sinis-kurang ajar dengan terpampang jelas di pintu yang tiga urutan lagi harus saya masuki.

dr. Lina Monika Astuti Sp.P
Poli Paru

Tangan saya gatal melinting Marlboro.

Hari Tigapuluh Dua, 2014

X-Ray, Roentgen, CT Scan. Periksa Lab kata dokternya, tidak ada apa-apa ya bagus, ada apa-apa ya tidak heran. Hasilnya?

Kanker.

Paru-paru.

Stadium (hampir) akhir.

Pulang. Depresi.

Hari Tigapuluh Tiga, 2014

Dina teriak.

Bapak tidak bertanggung jawab katanya. Beraninya kena kanker ketika ia sudah di trisemester akhir. Kalau mati bagaimana. Tidak peduli sama anak yang belum lahir? Sudah tahu racun masih dihisap.

Papa pingsan. Papa Dina juga pingsan. Mama histeris. Mama Dina lebih histeris. Ruang keluarga sunyi . Dina menarik tangan saya ke Rumah Sakit menebus obat. Jangan putus harapan katanya, menguatkan. Mungkin menguatkan dirinya sendiri.

Hari Tigapuluh Tiga (juga)

Antrian panjang. Maklum, kata nenek disebelah, semenjak pemerintah mengadakan berobat gratis nasional, pergi ke rumah sakit jadi hobi. Tren gaya hidup baru.

Nomor urutan ke tiga puluh tiga (kebetulan? Tidak tahu dan tidak mau tahu). Apotekernya mbak-mbak 20-an, kelihatannya capai tapi masih memaksakan senyum.

Dua kali sehari, tiga kali sehari, yang ini obat kankernya, yang ini obat kalau terasa sakit batuknya, setelah makan, dihabiskan, konsultasi secara berkala, dan semoga cepat sembuh.

Hari Empat Puluh Satu, 2014

Batuknya sudah darah. Semua darah. Dina panik. Opname saja kata Dina, asuransi ditanggung BPJS, pemerintah sudah berpihak pada pasien kanker.

Dirumah sakit dapat kelas tiga (standar BPJS). Diinfus, lalu menunggu.

Tiga jam kemudian dokternya datang visit, dokter Lina juga. CT Scan lagi.

Hasilnya?

Saya tidak merespon kemoterapi. Baca : obat-obatnya gagal menyembuhkan saya. Pilihannya radiasi atau operasi.

Hari Lima Puluh Dua, 2014

Radiasi hari ke sebelas. Shock. Ternyata kanker paru saya metastasis -istilah keren kankernya sudah menyebar. Otak dan hati saya ikut kanker.

Hari Enam Puluh Empat, 2014

Dina bersalin, di stase kebidanan lantai tiga, saya di ruang inap unit dua lantai empat. Terbaring lemas ringkih. Hampir mati.

Lima belas menit kemudian mama saya datang. Terisak.

Anakmu laki-laki. Selamat. Ibunya juga.

Beratnya terlalu ringan. 1,5 kilo.

Kata dokter harapan hidupnya rendah, harus masuk UGD untuk bayi. NICU. Neonatal Intensive Care Unit. Mungkin katanya karena Dina terekspos kamu merokok di rumah.

Hari Tujuh Puluh Dua, 1999

Andi nawarin rokok. Katanya keren. Enak. Ngilangin stress. Bikin Fly.

Jangan cemen katanya. Rokok itu asik. Ga bikin sakit, ga bikin mati. Banyak orang ngerokok dan mereka baik-baik aja.

Saya ambil sebatang

***
Naskah ini diikutkan pada Lomba Menulis di Blog "Diary sang Zombigaret". Untuk informasi lomba dapat dilihat di Lomba Menulis dengan Laman Resminya dapat dilihat di Facebook Zombiegaret.

Salam sehat, anti tembakau :)














0 comments:

Post a Comment