Sunday, September 5, 2010 | By: Life Stories

Novel Project -Lex Oddypus chapter 1

Gemerincing lonceng yang tertiup angin pagi, membangunkanku kembali hari ini. Membuatku kembali terjaga dari deretan mimpi yang semalam kuuntai bahagia sebagai sebuah kalung permata yang paling berharga.

Aku berharap suatu hari nanti, akan ada sebuah kereta imajinasi warna-warni yang di sekitarnya diletakkan kilauan gemintang pagi untuk membawaku pergi menuju sebuah dimensi fantasi.

Di mana aku dapat bercengkerama dengan para peri, bercanda-tawa mengarungi langit bersama para naga, dan bertualang bersama para ksatria dan penyihir.

Tapi seperti biasa, hari ini langit tetap mendung, menatapku dengan tatapan kelabu sayu, seakan-akan menganggap mimpiku adalah sebuah angin lalu.

Dan aku kembali menghela nafas, kemudian membereskan tempat tidurku, beranjak mandi, sarapan, dan pergi ke sekolah dengan bus yang sama yang kutumpangi setiap pagi.

-Dan sekali lagi, realita kenyataan telah memenangkan pertempuran hari ini.-

[Thomas’s Diary]

Mimikri.

Kata itu terucap reflek dari mulutku begitu saja. Sebuah kabut aneh menyelimuti kami. Kabut hitam pekat yang menjadikan tubuh kami memiliki warna yang sama persis dengan lingkungan sekitar kami.
Allysa mendelik kecil, ia menggelengkan kepalanya melihat tingkahku yang menurutnya mengabaikan fakta bahwa ada sepuluh kilatan cahaya mata berwarna biru yang menatap lapar dari sudut gelap lain lorong sekolah.

****

Allysa menyetujui rencanaku untuk mengumpulkan bahan makanan. Menurutnya kami akan memerlukan persediaan lebih dari sebulan. Aku mengernyit mendengarnya.

Dua puluh meter menuju pintu gerbang kafetaria yang telah terbuka bukan perjuangan mudah. Monster-monster itu sensitif terhadap suara, jadi walau mereka tak dapat melihat wujud kami dengan matanya yang menurut Allysa dapat melihat dalam gelap seperti sinar inframerah, mereka dapat melacak lokasi keberadaan kami berdasarkan suara yang kami timbulkan.

Allysa memperkirakan hal itu. Kabut gelap yang ia ciptakan juga berfungsi untuk meredam suara, namun ia memperingatkanku untuk tidak menimbulkan suara lain selain suara langkah kakiku. Kabutnya tidak mampu menyelimuti semuanya.

Beberapa saat kemudian kami berhasil tiba di kafetaria. Allysa meletakan semacam kertas bertuliskan aksara-aksara aneh yang tidak bisa kubaca di pintunya.

Sihir peredam suara katanya. Menurutnya kami akan membutuhkannya karena tidak mungkin mengumpulkan makanan tanpa menimbulkan suara. Tapi selembar kertas hanya bertahan selama tiga puluh menit. Jadi kami harus cepat.



“Umm...” Gumamku memecah keheningan.

“Ya?” Tanya Allysa yang masih sibuk mengumpulkan roti yang berlabelkan cokelat pada bungkusnya. Ia sudah mengumpulkan lebih dari sepuluh jenis roti yang sama. Sepertinya ia suka cokelat.

“Katamu Kau adalah seorang pengacara sihir –The Magic Lawyer.” Kataku sambil terus mengumpulkan roti yang berlabel Strawberry’s Jam. Rasa favoritku.

“Ya, terus kenapa?” Tanyanya lagi sambil menaruh tumpukkan roti cokelat itu di dalam sebuah kantung plastik besar yang sepertinya berwarna putih.

“Bisa Kau jelaskan mengapa hal ini terjadi? Ummm.... maksudku....” Jawabku agak tergagap sambil mengikuti langkahnya pada roti Strawberry’s Jam-ku.

“Bukankah aku sudah bilang pertanyaan semacam itu akan membuatmu harus mengeluarkan, biaya yang hmmm, katakanlah tidak sedikit.” Jawab Allysa mengeluarkan senyum jahilnya.

“Ayolah Allysa, Aku tidak sebodoh itu.” Ucapku tertawa kecil.

“Maksudmu Thomas?” Ia mengernyit curiga.

“Jika kau mengambil bayaran untuk setiap hal yang kau lakukan kepadaku –yang notabene adalah klienmu. Maka harusnya kau juga mengambil usiaku untuk pembayaran melakukan mimikri tadi. Tapi kau tidak melakukannya.” Jawabku berhipotesa.

“Jadi kesimpulanmu adalah?” Tanyanya sambil tersenyum.

“Kau mengambil bayaran berdasarkan periode waktu, bukan berdasarkan jumlah jasa yang kau berikan.” Jawabku yakin.

“Tidak buruk Thomas, kau memang pintar.” Jawabnya sambil tertawa puas.

“Jadi apakah kau akan menjawab pertanyaanku atau tidak?” Kataku sambil mulai mengumpulkan botol-botol besar air mineral yang tersusun di rak tiga tingkat dinding kafetaria.

“Ya ya, kau menang, baiklah akan aku jawab. Tapi ada sesuatu yang perlu kau tahu Thomas.” Katanya sambil memperlihatkan seringai nakalnya.

“Apa?” Tanyaku penasaran sambil mempercepat kegiatanku mengumpulkan botol.

“Well, klien hanya berhak bertanya sebanyak sepuluh kali per hari, dan coba tebak itu pertanyaan kesepuluhmu!!” Ujarnya sambil berusaha menahan tawa.

“....”

“Tapi jangan khawatir, kontrak kita berlaku selama, hmm berapa dua puluh lima persen dari satu setengah tahun? Oh ya, empat setengah bulan. Kau masih punya banyak waktu untuk bertanya, Thomas.” Kata Allysa menjelaskan.

“Jangan bilang kau mengambil untung dari umurku sebanyak tujuh puluh lima persen!” Kataku menyelidik.

“Deduksi yang bagus. Aku tidak salah memilihmu menjadi klien.”

“....”

****

Allysa sungguh menyebalkan. Ia menipuku dengan menghabiskan kuota pertanyaanku sebanyak sepuluh pertanyaan sehari.

Paling tidak kami berhasil mengumpulkan cukup banyak makanan. Sangat banyak menurutku. Lima kilo kalau aku tidak salah. Kami membawanya dalam tas Allysa yang menurutku mirip dengan kantung empat dimensi milik Doraemon. Muat diisi apa saja.

“Allysa.” Tegurku, sambil berusaha mencari-cari bahan makanan lain yang mungkin masih bisa kami bawa, masih ada lima belas menit sebelum efek sihir peredam suara habis.

“Bicaralah.” Jawabnya sambil memasukkan beberapa snack dan biskuit cokelat yang berhasil ia temukan di salah satu laci kafetaria.

“Kau yakin di sini tidak ada monster?” Tanyaku memastikan.

“Dan itu adalah sebuah pertanyaan?” Jawabnya menyeringai nakal.

“Oh ayolah... Anggaplah itu pertanyaan yang diajukan salah satu temanmu, bukan pertanyaan klienmu.” Gerutuku kesal.

“Aku tidak punya teman Thomas, tapi mungkin aku bersedia menambah kuota pertanyaanmu jika kau bersedia membayar lebih.” Katanya sambil tertawa kecil.

“Lupakan saja.” Jawabku kesal.

“Hei, hei aku hanya bercanda, baiklah kali ini kuberi bonus.” Balasnya sambil terkikik geli melihat tingkahku.

“Tidak akan ada monster di sini. Aku yakin.” Jawabnya pasti.

“Kenapa?” Tanyaku lagi.
 
“Karena mereka Lycan.” Jawabnya simpel.

“Lycan? Maksudmu?” Jawabku kebingungan ketika memindahkan beberapa kaleng jus dan soft drink ke dalam Tas Allysa.

“Lycan adalah nama dari monster mirip serigala itu, mereka datang dari dimensi 00923-ACO ,ummm Dimensi Verit.”

“Lingkungan mereka adalah rawa-rawa dengan kadar PH yang cukup tinggi, jadi mereka tidak menyukai suasana asam. Suasana asam dapat melukai mereka.” Lanjut Allysa
.
“Dan apakah kau tahu Mrs.Green, Si Nyonya Kafetaria, sangat menyukai aroma citrus? Bahkan ia selalu membuat setiap ruangan yang akan ia tempati dalam waktu lama beraroma citrus. Dan seperti biasa setiap hari ia menyemprotkan pewangi ruangan beraroma citrus yang cukup pekat ke ruangan ini. Dan kau tahu apa yang ada di dalam citrus Thomas? Citric Acid , Asam Sitrat, tidak terlalu kuat memang. Tapi paling tidak mampu membuat Lycan enggan memasukinya.”

“Jadi kita akan selamat bila kita berada di sini?” Tanyaku memastikan.

“Tidak juga, lihatlah sendiri.” Katanya menunjuk mayat beberapa wanita penjaga kafetaria yang terbujur kaku bersimbah darah dengan isi perut yang terburai di depan pintu belakang kafetaria yang terbuka.

“Memang mereka tidak menyukai aroma citrus yang asam, tapi Lycan-Lycan ini lapar. Dan nafsu perut mengalahkan semuanya, bukankah begitu? Lagipula Asam Sitrat hanyalah asam lemah.” Jelas Allysa.

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” Tanyaku lagi.

“Oh menurutku kita harus memulainya dengan menunggu. “ Jawab Allysa tersenyum licik. Aku tidak suka senyum itu.

“Aku tidak dapat mengatasi masalah rumit ini sendirian, untuk kau tahu, sebenarnya aku masih dalam kategori. Well... magang.”

“Yaah aku masih dalam pelatihan Thomas dan kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya.” Keluh Allysa.
“Dan sebagai lawyer in training –pengacara dalam pelatihan, sebenarnya aku tidak diizinkan mengambil klien kecuali ada jaminan bahwa kondisinya sangat darurat dan klienmu merupakan orang yang dapat dipercaya. Dan itupun hanya boleh satu” Jelas Allysa menghela nafas.

“Umm tapi kenapa kau membutuhkan klien?” Tanyaku lagi.

“Eh.. begini, sama seperti manusia yang butuh makanan sebagai sumber energi untuk beraktivitas, kami membutuhkan usia sebagai energi untuk melakukan aktivitas sihir.” Jawab Allysa.

“Terus, apa alasanmu memilihku?” Tanyaku keheranan.

“Eh... karena menurutku kau cukup pandai dan tidak akan bertingkah bodoh dalam situasi seperti ini. Kebanyakan murid yang ada di sini akan berteriak-teriak ketakutan melihat genangan darah dan tumpukkan mayat. Tapi kau tidak Thomas.”

“Lihatlah matamu, mata seseorang yang anti-sosial, seseorang yang tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya, seseorang yang dapat dengan mudah beradaptasi untuk bertahan hidup.” Ucap Allysa sambil mengarahkan cermin bergagangnya ke arah wajahku.

“Ya tapi, bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?” Tanyaku melepaskan tatapan mengerikan yang muncul dari refleksi wajahku sendiri dan mulai mencari-cari senjata yang ada di kafetaria untuk berjaga-jaga.

“Kau mau kemana memangnya?” Tanya Allysa sambil mengikuti kegiatanku mencari senjata untuk pembelaan diri seperlunya.

“Bukankah itu sudah jelas? Keluar dari tempat ini tentunya! Kita harus melaporkannya ke polisi atau ke militer bila perlu.” Jawabku sambil memperlihatkan kilauan perak dari sebuah pisau dapur kecil yang baru saja kutemukan.

“Nah-ah, untuk sekedar kau tahu Thomas, mereka telah berhasil menguasai kota ini dan sebagian besar kota yang lain. Mungkin hanya ada beberapa kota yang tersisa di negara ini. Dan semuanya tentu sedang berpikir tentang keselamatan diri masing-masing.”

“Bagaimana kau dapat menyimpulkan hal itu?”

“Memangnya kejadian meteorit aneh itu hanya terjadi di sekolah ini? Lain kali tontonlah berita.”

Aku tersenyum kecut.

****

SWISSH

Kertas peredam suara yang dipasang Allysa baru saja terbakar. Ia memasang kembali kabut hitam perlindungannya. Kami harus menghemat kertas itu. Hanya sepuluh lembar yang tersisa.

Menurut Allysa, mereka harus pergi ke dimensi tempat Allysa berasal. Di sana ketua hakim tertinggi yang memimpin senat perundang-undangan akan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan.
Awalnya aku menolak, aku takut pergi ke dimensi lain. Bayang-bayang akan bertemu dengan berbagai jenis monster membuat bulu kudukku berdiri.

Namun setelah dihadapkan dengan fakta bahwa para monster itu siap memakan kami kapan saja kelengahan datang menyergap. Aku akhirnya mengalah. Dan dengan berat hati menerima usulan itu.

Awalnya Allysa memiliki sebuah portal masuk di kamar rumahnya, namun karena sangat tidak memungkinkan untuk berjalan menembus lima blok perkotaan yang penuh dengan monster, Allysa menyarankan sebuah tindakan gila.

Ia menyarankan untuk memanfaatkan kekuatan dari batu meteorit itu, dengan sedikit tambahan sihir plus beberapa botol ramuan, portal dimensi dapat dibuka.

Namun ritual pembukaan portal hanya dapat dilakukan ketika bulan purnama dan itu berarti baru tiga hari lagi sebelum kami dapat membuka portal.

Kedengarannya tidak terlalu gila kan? Hmm bagaimana jika aku mengatakan bahwa meteorit itu selalu mengeluarkan atau lebih tepatnya men-teletransport-kan para monster itu kemari sebanyak sepuluh ekor setiap lima belas menit sekali.

Oh ya, monster-monster itu lapar.

****

Mungkin hanya ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi sekolah ini sekarang.

Mengerikan

Ya mengerikan. Aku dapat melihat kilauan cahaya mata biru mereka yang berpendar dalam kegelapan di setiap ruangan yang kami lewati. Suara tetesan liur dan raungan kesakitan sesekali muncul menyeruak memecahkan kesunyian.

Lagu-lagu kematian the Sonata of Requiem seakan-akan dimainkan secara aklamasi pasti oleh para malaikat maut yang sedang berpesta merayakan acara pengkoleksian nyawa akbar mereka.

Setelah melalui beberapa debat panjang yang dilakukan secara berbisik dalam perlindungan selimut kabut kegelapan yang diciptakan Allysa. Kami memutuskan untuk menjadikan Lab Kimia sebagai tempat berlindung kami sementara selama tiga hari kedepan, menunggu saat portal dapat dibuka.

Kebetulan sekolah kami adalah gabungan dari sekolah dasar hingga sekolah atas. Sehingga kami memiliki Lab Kimia di sekolah kami. Dan ini adalah suatu hal yang menguntungkan.

Oh ya, mengapa hal ini menguntungkan? Seperti yang sudah dijelaskan Allysa tadi, para Lycan tidak menyukai suasana asam. Dan coba tebak apa yang ada di Lab Kimia? Ya kau benar, kumpulan dari berbagai jenis larutan asam dengan tingkat molaritas yang berbeda.

Lab kimia berada di lantai dua. Walau harus mengendap-endap menghindari suara yang dapat ditimbulkan dari menginjak tumpukan mayat. Dan terhalangi oleh kondisi pakaian dan sepatuku yang kurasakan sangat sempit akibat penambahan tinggi dan berat badan secara spontan, kami dapat mencapai tempat itu dengan mudah. Dan seperti dugaanku, tidak ada Lycan di sana.

****

“Asam sulfat, asam klorida, asam iodida, asam nitrat, dan asam bromida. Itu yang harus kita ambil. Asam-asam kuat yang efektif.”Allysa berbisik kepadaku sambil mencari kumpulan asam itu dari rak Lab Kimia.

Aku mengikuti langkahnya, mulai mencari kumpulan asam tersebut dari rak-rak yang lain. Aku menemukan asam sulfat 25 Molar , asam klorida 3 Molar, dan asam iodida 10 Molar.Allysa menemukan asam nitrat 18 Molar, asam bromida 10 Molar, dan asam klorida 5 Molar.

“Taruh saja HCl-nya ,ke-molaran di bawah angka lima tidak akan efektif melawan Lycan.” Bisik Allysa sambil menunjuk asam klorida yang kubawa.

“Sepertinya hanya tinggal sedikit asam yang tersisa.” Ucapku menghela nafas tertahan, ketika melihat volume asam nitrat yang hanya tersisa setengah liter.

“Encerkan kalau begitu, kita hanya butuh kepekatan sebanyak lima molar. Lebih dari itu hanya membuang-buang amunisi.” Bisik Allysa yang entah kapan mulai mengganti kata asam dengan amunisi.

“Baiklah.” Kataku sambil mulai bersiap menuangkan beberapa liter air yang kuperoleh dari salah satu rak ke dalam tabung jerigen besar asam nitrat tersebut.

“Kau gila Thomas?!” Jerit Allysa tertahan.

“Kemarikan air dan asam itu.” Katanya dalam sekejap langsung mengambil jerigen yang berisi asam nitrat dari meja di dekatku.

“Aku yakin kau tidak pernah mengencerkan larutan!” Tuduh Allysa, matanya mendelik.

“Umm, begitulah.” Jawabku seadanya.

“Sigh...” Allysa menghela nafas.

“Aturan pertama dalam pengenceran larutan adalah, gunakan sarung tangan.” Jelas Allysa, ia mulai memakaiakan sarung tangan berwarna putih yang tergantung di salah satu gantungan Laboratorium.

“Kedua, jangan sembarangan mencampurkan air, gunakan rumus, hitung dan hitung!” Jelas Allysa sambil mengambil salah satu pensil dari kantong atasnya dan mulai menuliskan sesuatu di atas meja.

“Ketiga, jangan pernah, dan jangan pernah memasukkan air ke dalam asam, lakukan sebaliknya, kau tahu kenapa?” Tanya Allysa menunjuk ke arahku.

“Tidak...” Jawabku pasrah.

“Karena jika kau melakukan hal itu, maka larutan asam akan meledak, oke tidak meledak tapi menyembur keluar, dan hal itu akan mengakibatkan mukamu, atau paling tidak tanganmu mengalami luka bakar!” Jelas Allysa panjang lebar.


“Asam nitrat ini memiliki molaritas 18, volume setengah liter, untuk mengencerkannya sampai menjadi hanya 5 Mol kita membutuhkan penambahan air sebanya satu koma tiga liter.Perhatikan, tuang asam ke dalam air secara perlahan, jangan terlalu cepat. Kau tahu akibatnya.” Ucap Allysa yang sepertinya mulai bertindak seperti seorang guru.

“Lakukan hal yang sama terhadap asam lain, ini rumusnya, ingat satuan yang kau gunakan adalah Mol dan liter, jangan pernah melakukan kesalahan karena satuan, jangan pernah!” Kata Allysa yang menunjukkan sebuah rumus yang ia tulis di meja kepadaku.

V1 x M1 = V2 x M2

“Umm Allysa, aku mengerti, tapi apa tidak sebaiknya kau tidak berteriak-teriak?” Jawabku khawatir.

“Aku sudah menaruh kertas peredam suara di depan, jadi jangan banyak bicara cepat encerkan, kemudian masukkan larutan itu ke dalam tabung penyemprot ruangan yang sudah kosong itu.” Katanya
sambil menunjuk kumpulan tabung penyemprot ruangan yang terletak di sudut Laboratorium.

“Aku tak dapat menggunakan kemampuanku memusnahkan... maksudku membakar... Ummm.. maksudku menerapkan hukuman atas perbuatan yang telah dilakukan –Law’s Punishment, lebih dari satu hari sekali, kau harus mengerti aku masih...”

“Magang, ya aku tahu.” Kataku menyela kalimatnya.

“Tapi bagaimana dengan...”

“Kemampuan membuat kabut dan peredam suara? Itu merupakan pelajaran dasar di dimensi asalku, tidak menggunakan sihir sebanyak yang dibutuhkan untuk penerapan hukuman, hanya menggunakan energi dasar tubuh.” Katanya gantian menyela kalimatku.

“Sepertinya dimensi asalmu menarik.” Kataku tersenyum tipis.

“Kau tertarik?” Tanyanya memastikan.

“Ya begitulah.” Jawabku

“Tunggulah tiga hari lagi, itupun jika kau masih hidup.” Katanya tertawa kecil.

Aku tersenyum masam.

1 comments:

Anonymous said...

Hahaha...Penerapan pelajaran kimia dalam kehidupan sehari-hari,tidak sia-sia kan belajar kimia???
Knp tdk digbngkn dgn mat,fis&bio sekalian...
Mungkin jd lbh menarik...
Ditunggu chapter selanjutnya!!

Post a Comment